Rabu, 01 Februari 2012

SEJARAH KEISTIMEWAAN DIY

Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan Daerah Istimewa yang dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1950 jo Nomor 19 Tahun 1950.  Secara administrasi, wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta meliputi bekas Daerah Kasultanan Yogyakarta dan Daerah Pakualaman, terdiri dari 1 Kota dan 4 kabupaten dengan luas 3.185,80 Km2 atau 0,17 % dari luas Indonesia.

Sebelum Indonesia merdeka, Yogyakarta merupakan gabungan dari dua wilayah, yaitu wilayah Kasultanan Yogyakarta dan wilayah Kadipaten Pakualaman.  Pada masa penjajahan Belanda, ditetapkan bahwa daerah yang telah mempunyai asal usul pemerintahan sendiri disebut Zelbersturende Landschappen  atau disebut juga Daerah Swapraja.  Oleh Pemerintah Belanda, Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten  Pakualaman diakui sebagai kerajaan sehingga berhak untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Kontrak politik Kasultanan dengan Pemerintah Belanda terakhir tercantum dalam Staatsblad 1941 Nomor 47, dan dengan Pakualaman dalam Staatsblad 1941 Nomor 577.

Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat didirikan oleh Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono I pada tahun 1755.  Sedangkan Kadipaten Pakualaman didirikan oleh Pangeran Notokusumo (saudara Sultan hamengku Buwono II) yang kemudian bergelar Adipati Paku Alaman I pada tahun 1813.


Pada saat pernyataan kemerdekaan RI, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII mengirim kawat kepada Presiden RI yang menyatakan bahwa Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman menjadi bagian wilayah Negara Kesatuan RI, dan dinyatakan sebagai Daerah Istimewa melalui “Piagam Kedudukan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII dari Presiden RI” pada tanggal 19 Agustus 1945.  Disamping itu dalam “amanat” Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII juga disampaikan bahwa keduanya memegang kekuasaan pemerintahan di Yogayakarta serta bertanggung jawab langsung kepada Presiden RI.  Selanjutnya ditindak lanjuti oleh Pemerintah RI dengan menerbitkan ketentuan-ketentuan, yang terakhir dalam Undang-undang No. 5 tahun 1974 Bab VII aturan Peralihan pasal 91 (b) menyebutkan bahwa Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta tidak terikat pada ketentuan masa jabatan, syarat dan cara pengangkatan bagi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah lainnya.

Komitmen Sultan Hamengku Buwono IX terus berlanjut, dan pada saat Ibukota Jakarta dalam situasi kitis dari ancaman negara kolonial Belanda, Yogyakarta dijadikan Ibukota Negara Republik Indonesia untuk melakukan perlawanan terhadap penjajah dari tanggal 4 Januari 1946 sampai tanggal 27 Desember 1949.    Langkah lainnya adalah menyediakan Kraton Yogyakrta, khususnya Pagelaran, Gedung Siti Hinggil dan sejumlah bangunan l;ainnya dipinjamkan kepada negara untuk dijadikan gedung sementara bagi penyelenggaraan pendidikan, yang kemudian menjadi universitas negeri pertama di Indonesia, Universitas Gajah Mada.  Kemudian dalam rangka perjuangan merebut kembali Irian Barat kepangkuan RI, Presiden RI Soekarno mengeluarkan Perintah Tri Komando Rakyat (TRIKORA) di Alun-alun Utara Yogyakarta.

Setelah Sri Sultan Hamengku Buwono IX wafat pada tanggal 3 Oktober 1988, Sri paduka Paku Alam VIII ditunjuk untuk melaksanakan tugas dan kewenangan sehari-hari sebagai Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 340 tahun 1988.  Kemudian pada tanggal 7 Maret 1989, KGPH Mangkubumi dinobatkan sebagai Sultan dengan gelar Sri Suktan Hamengku Buwono X.

Pada masa akhir pemerintahan Orde Baru terjadi situasi kritis di seluruh Indonesia, dimana masyarakat sedang memperjuangkan reformasi pemerintahan, Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Sri paduka Paku Alam VIII memandang perlu mengeluarkan “Maklumat”.  Maklumat yang diserukan bersama masyarakat Yogyakarta di Alun-alun utara pada tanggal 20 Mei 1998, pada hakekatnya merupakan sebuah komitmen Sultan, Paku Alaman dan masyarakat Yogayakarta untuk memperjuangkan dan menegakan demokrasi dan kedaulatan rakyat di Indonesia.

Hal yang sangat mengesankan dikatakan oleh Sultan Hamengku Buwono X saat dinobatkan sebagai Sultan adalah buat apa sebuah tahta dan menjadi Sultan apabila tidak memberikan manfaat bagi masyarakat.   Beliau menegaskan pula tidak rela membiarkan Kraton Yogyakarta sekedar menjadi artefak budaya, diharapkan kraton serta seluruh isinya dapat memberikan manfaat bagi masyarakat sekitarnya dan manfaat bagi negara pada umumnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar